Jumat

Kisah Tauladan

Pengangguran Tanpa E-Mail

Seorang pengangguran melamar pekerjaan sebagai “office boy”di istana Negara (kantor SBY), Jakarta . Andi Mallarangeng mewawancarai dia dan melihat dia membersihkan lantai sebagai tesnya. “Kamu diterima,” katanya, “Berikan alamat e- mailmu dan saya akan mengirim formulir untuk diisi dan pemberitahuan kapan kamu mulai bekerja.”.Laki- laki itu menjawab,“Tapi saya tidak punya komputer, apalagi e-mail”. “Maaf,” kata Mallarangeng. “Kalau kamu tidak punya e-mail, berarti kamu tidak hidup. Dan siapa yang tidak hidup, tidak bisa diterima bekerja.”

Laki-laki itu pergi dengan harapan kosong. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan hanya dengan Rp.100.000 di dalam kantongnya. Kemudian ia memutuskan untuk pergi ke Pasar Minggu dan membeli 10 kg peti tomat. Ia menjual tomat itu dari rumah ke rumah. Kurang dari 2 jam, dia berhasil melipatgandakan modalnya. Dia melakukan kerjanya tiga kali, dan pulang dengan membawa Rp.300.000. Dia pun sadar bahwa dia bisa bertahan hidup dengan cara ini. Ia mulai pergi bekerja lebih pagi dan pulang larut. Uangnya menjadi lebih banyak 2x sampai 3x lipat tiap hari.Dia pun membeli gerobak, lalu truk, kemudian akhirnya ia memiliki armada kendaraan pengirimannya sendiri.

Lima tahun kemudian, laki-laki itu sudah menjadi salah satu pengusaha makanan terbesar di Indonesia . Ia mulai merencanakan masa depan keluarga, dan memutuskan untuk memiliki asuransi jiwa. Ia menghubungi broker asuransi, dan memilih protection plan. Sang brokerpun menanyakan alamat e-mailnya. Laki-laki itu menjawab, “Saya tidak punya e-mail” Sang broker bertanya dengan penasaran, “Anda tidak memiliki e-mail, tapi sukses membangun sebuah usaha besar. Bisakah Anda bayangkan, sudah jadi apa Anda kalau Anda punya e-mail?!”

Laki-laki itu berpikir sejenak lalu menjawab, “Ya, saya mungkin sudah jadi office boy di Istana Negara!”

Pesan Moral:
1. Internet bukanlah solusi hidup Anda.
2. Kalau Anda tidak punya akses internet, lalu bekerja keras, Anda
bisa jadi milyuner.
3. Kalau Anda menerima pesan ini melalui e-mail, Anda lebih dekat
untuk menjadi “office boy/girl” daripada seorang milyuner he..he …4x.


Belajar Dari Tukang Bakso

Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik – rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,…terdengar suara tek…tekk.. .tek…suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat…, ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau
bakso ?

“Mauuuuuuuuu. …”, secara serempak dan kompak anak - anak asuhku
menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. …

Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya
membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.

“Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan ? Barangkali ada tujuan ?” “Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita – cita penyempurnaan iman “.

“Maksudnya.. ..?”, saya melanjutkan bertanya.

“Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus
menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat………..sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : “Iya memang bagus…,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang
mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya….”.

Ia menjawab, ” Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.

Definisi “mampu” adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita”.

“Masya Allah…, sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso”.


Antara Mencicil HP dan Kambing Kurban

Arin tertegun merenungi, ternyata tahun 2007 akan segera berakhir. Masih terngiang di ingatan Arin ketika dirinya berniat berkurban tahun ini. Cita-cita yang tak lagi kesampaian seperti halnya tahun lalu. Arin memandangi rekening tabungannya. Pemasukan dari penghasilannya lumayan sudah, tapi pengeluarannya juga tidak sedikit. Entah kenapa, semenjak pendapatannya mulai bertambah, kebutuhan hidupnya pun juga terus meningkat.

Arin ingat, dulu ketika bekerja dengan disambi kuliah, Arin masih sempat menyisihkan sebagian uangnya untuk berkurban. Padahal Arin tahu benar, hampir setiap hari Arin harus jungkir balik dari pagi hingga malam. Paginya, Arin mengerjakan pekerjaan freelance di daerah Depok. Siangnya, musti berlari ke kampus yang jaraknya lumayan jauh di Jakarta Pusat. Hampir setiap hari begitu. Jadi, tak jarang ketika uangnya habis untuk ongkos-ongkos, Arin meminjam uang dari ibunya yang hanya mengandalkan gaji pensiunan janda.

Aneh, pikir Arin saat ini. Dulu, ketika kuliah dan kerja, Arin sanggup menyisihkan uang untuk kurban. Menabung tiap bulan dari 50.000 sampai 100.000 hingga pada bulan Dzulhijah, Arin bisa membeli kambing, walau hanya mampu kelas B. Sekarang, begitu Arin tidak lagi berkuliah dan hanya bekerja. Jangankan untuk berkurban, Arin bingung dengan begitu banyaknya kebutuhan yang tiba-tiba.

Banyak sekali keinginan dan kebutuhan Arin yang tak terbendung. Sebagian sudah terlaksana, sebagian lain belum. Kalau dipikir memang ada beberapa kebutuhan yang benar-benar penting. Tapi, tak jarang juga, itu hanya sekadar keinginan semata.

Hidup prihatin yang Arin jalani saat itu mengajarkan Arin untuk mengatur uang sedemikian rupa dan menabung untuk bisa berkurban. Hidup berlebih di kemudian hari, sepertinya menenggelamkan Arin pada keinginan-keinginan yang belum tercapai sebelumnya.

Beberapa waktu lalu, Arin memiliki Hp dengan nilai jutaan rupiah, mencicil dari sebuah pusat penjualan elektronik. Hp sebelumnya telah rusak dan menurut Arin, itu adalah salah satu benda primer. Rencananya, setelah selesai mencicil Hp, Arin akan mencicil motor. Menurut Arin ini juga kebutuhan primer. Motor tersebut akan dipakai Arin untuk transportasi ke kantornya.

Tapi, kemudian Arin bingung. Hp-nya kini telah di tangan. Iklan motor bebek ada di meja belajarnya. Harga kambing yang ditawarkan kemarin tidak mencapai 800.000. tidak lebih dari harga Hp Arin. Tapi, ketika melihat tabungan, Arin tak lagi mendapatkan angka yang dia inginkan.

Arin jadi ingat, dia sempat mendapat nasihat dari pengajarnya dulu di kampus. Dosen Arin itu membenarkan kalau berkurban tampak berat begitu langsung mengeluarkannya dan memberi solusi dengan menabung terlebih dahulu. Seperti halnya Hp yang Arin cicil. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kenapa mencicil Hp saja bisa, sedangkan berkurban seekor kambing yang nilainya pahala, justru tidak bisa.

Mungkin banyak orang yang mengalami apa yang dialami Arin. Begitu banyak keinginan dan kebutuhan di kala penghasilan sudah mulai meningkat. Aturan matematika, ketika kebutuhan cukup menjadi tidak berlaku. Entah karena pola konsumerisme yang mulai menggerogoti atau itulah pola ekonomi secara umum. Padahal, kalau dihitung matematika, dengan penghasilan Arin yang sekarang, dia bisa berkurban dengan mudahnya. Tapi, yang terjadi malah tidak bisa sama sekali. Arin berkutat pada kebutuhan pribadi. Seolah tak akan pernah usai dan tak ada habisnya

Pernahkah kita berpikir bersama. Seringnya, nilai uang menjadi cukup besar ketika kita ingin menyalurkan ke baitul Maal, tapi lain halnya ketika dibawa ke Mall. Nilai Rp20.000 menjadi besar ketika kita ingin memasukkan ke tabung di mesjid pada waktu sholat jumat. Tapi begitu kecil ketika kita bawa ke mall. Tidak cukup untuk beli sepatu, kalau makan pun hanya bisa beli paket murah meriah.

Banyak dari kita silau dengan kehidupan duniawi. Seolah-olah segalanya yang terpajang di etalase adalah kebutuhan kita. Padahal, sering itu hanya tipuan sesaat. Yah, pikiran saat itu, benda ini ”perlu”, tapi sebenarnya hanya ”ingin”.

Seyogyanya, ketika sanggup untuk mencicil kebutuhan duniawi, kenapa malah justru sulit mencicil tabungan akhirat. Kalau segalanya dimulai dengan menabung terlebih dahulu. kita bisa mendisiplinkan diri untuk memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan .

Bahkan kita bisa saja memulai tabungan haji dari hari ini, bahkan bisa dimulai dengan nilai 5.000 perak. Saya teringat dengan tetangga saya yang mengais rezekinya dari berdagang di warung. Keinginannya begitu besar untuk pergi haji. Kemudian, ibu warung, biasa dia dipanggil, mulai bertanya pada tetangganya yang telah pergi haji. ”Nabung, Bu” Ibu warung pun mulai menabung dan siapa yang menduga. Akhirnya, biaya naik haji tersebut tertutup dengan rezeki yang tak diduga sebelumnya. Subhanallah, beliau sudah haji setelah beberapa tahun kemudian, beliau dipanggil oleh Allah Swt.

Subhanallah, kalau memang sudah niat untuk beribadah di jalan Allah, pasti ada jalan ke luar yang diberikan Allah. Seperti yang dialami bu warung dan Arin di masa prihatinnya. Sekarang, tinggal bagaimana kita mau memprioritaskan ke mana rezeki yang telah kita dapatkan dari Allah Swt.


Dua Anak Kecil Pedagang Tissu

Siang di bulan February 2008, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka mahluk mahluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya diatas jembatan penyeberangan setia budi - Jakarta , dua sosok kecil berumur kira kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastic hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue diujung jembatan, dengan keangkuhan khas
penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “Terima kasih Oom !”. Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk kearah mereka.

Kaki - kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki laki itupun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka.

Kantong hitam tampat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok disudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta . Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, duapertiga terisi tissue putih berbalut plastic transparan.

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum diwajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang manggayut langit Jakarta .

“Terima kasih ya mbak .semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

“Maaf, nggak ada kembaliannya. .ada uang pas nggak mbak ?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

“Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka, saya Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah.

“Nggak punya, tukas saya!” lalu tak lama si wanita berkata “ambil saja kembaliannya, dik !” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur.Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya segenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita
kaget, setengah berteriak ia bilang” sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja !”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !” Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya.

Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar ” Om , bisa tunggu ya, saya kebawah dulu untuk tukar uang ketukang ojek!”.

“eeh .nggak usah ..nggak usah ..biar aja ..nih !” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.

Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om , biar ditukar dulu ..sebentar”

“Nggak apa apa , itu buat kalian” Lanjut saya “jangan ..jangan Om , itu uang om sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras ” Sudah ..saya Ikhlas , mbak tadi juga pasti ikhlas ! saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari kearah saya.

” Ini deh om, kalau kelamaan , maaf ..” ia memberi saya delapan pack tissue ” Buat apa ?” saya terbengong

“Habis teman saya lama sih Om , maaf, tukar pakai tissue aja dulu ” walau dikembalikan ia tetap menolak.

Saya tatap wajahnya , perasaan bersalah muncul pada rona mukanya . Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastic hitam tissuenya.

Beberapa saat saya mematung di sana , sampai sikecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.”Terima kasih Om !”..mereka kembali keujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan ” Duit mbak tadi gimana ..? ” suara kecil yang lain menyahut “lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin…” percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali kekantor dengan seribu perasaan.

Tuhan ..Hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta-minta dengan berdagang Tissue.

Dua anak kecil yang bahkan belum baligh , memiliki kemuliaan diumur mereka yang begitu belia.

YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO. Engkau hanya semulia yang kau kerjakan.

Saya membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rizki kita meski dalam rizki itu sebetulnya ada milik orang lain.

“Usia memang tidak menjamin kita menjadi Bijaksana, kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar