Jumat

Kisah Tauladan

Pengangguran Tanpa E-Mail

Seorang pengangguran melamar pekerjaan sebagai “office boy”di istana Negara (kantor SBY), Jakarta . Andi Mallarangeng mewawancarai dia dan melihat dia membersihkan lantai sebagai tesnya. “Kamu diterima,” katanya, “Berikan alamat e- mailmu dan saya akan mengirim formulir untuk diisi dan pemberitahuan kapan kamu mulai bekerja.”.Laki- laki itu menjawab,“Tapi saya tidak punya komputer, apalagi e-mail”. “Maaf,” kata Mallarangeng. “Kalau kamu tidak punya e-mail, berarti kamu tidak hidup. Dan siapa yang tidak hidup, tidak bisa diterima bekerja.”

Laki-laki itu pergi dengan harapan kosong. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan hanya dengan Rp.100.000 di dalam kantongnya. Kemudian ia memutuskan untuk pergi ke Pasar Minggu dan membeli 10 kg peti tomat. Ia menjual tomat itu dari rumah ke rumah. Kurang dari 2 jam, dia berhasil melipatgandakan modalnya. Dia melakukan kerjanya tiga kali, dan pulang dengan membawa Rp.300.000. Dia pun sadar bahwa dia bisa bertahan hidup dengan cara ini. Ia mulai pergi bekerja lebih pagi dan pulang larut. Uangnya menjadi lebih banyak 2x sampai 3x lipat tiap hari.Dia pun membeli gerobak, lalu truk, kemudian akhirnya ia memiliki armada kendaraan pengirimannya sendiri.

Lima tahun kemudian, laki-laki itu sudah menjadi salah satu pengusaha makanan terbesar di Indonesia . Ia mulai merencanakan masa depan keluarga, dan memutuskan untuk memiliki asuransi jiwa. Ia menghubungi broker asuransi, dan memilih protection plan. Sang brokerpun menanyakan alamat e-mailnya. Laki-laki itu menjawab, “Saya tidak punya e-mail” Sang broker bertanya dengan penasaran, “Anda tidak memiliki e-mail, tapi sukses membangun sebuah usaha besar. Bisakah Anda bayangkan, sudah jadi apa Anda kalau Anda punya e-mail?!”

Laki-laki itu berpikir sejenak lalu menjawab, “Ya, saya mungkin sudah jadi office boy di Istana Negara!”

Pesan Moral:
1. Internet bukanlah solusi hidup Anda.
2. Kalau Anda tidak punya akses internet, lalu bekerja keras, Anda
bisa jadi milyuner.
3. Kalau Anda menerima pesan ini melalui e-mail, Anda lebih dekat
untuk menjadi “office boy/girl” daripada seorang milyuner he..he …4x.


Belajar Dari Tukang Bakso

Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik – rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,…terdengar suara tek…tekk.. .tek…suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat…, ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau
bakso ?

“Mauuuuuuuuu. …”, secara serempak dan kompak anak - anak asuhku
menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. …

Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya
membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.

“Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan ? Barangkali ada tujuan ?” “Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita – cita penyempurnaan iman “.

“Maksudnya.. ..?”, saya melanjutkan bertanya.

“Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus
menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat………..sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : “Iya memang bagus…,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang
mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya….”.

Ia menjawab, ” Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.

Definisi “mampu” adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita”.

“Masya Allah…, sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso”.


Antara Mencicil HP dan Kambing Kurban

Arin tertegun merenungi, ternyata tahun 2007 akan segera berakhir. Masih terngiang di ingatan Arin ketika dirinya berniat berkurban tahun ini. Cita-cita yang tak lagi kesampaian seperti halnya tahun lalu. Arin memandangi rekening tabungannya. Pemasukan dari penghasilannya lumayan sudah, tapi pengeluarannya juga tidak sedikit. Entah kenapa, semenjak pendapatannya mulai bertambah, kebutuhan hidupnya pun juga terus meningkat.

Arin ingat, dulu ketika bekerja dengan disambi kuliah, Arin masih sempat menyisihkan sebagian uangnya untuk berkurban. Padahal Arin tahu benar, hampir setiap hari Arin harus jungkir balik dari pagi hingga malam. Paginya, Arin mengerjakan pekerjaan freelance di daerah Depok. Siangnya, musti berlari ke kampus yang jaraknya lumayan jauh di Jakarta Pusat. Hampir setiap hari begitu. Jadi, tak jarang ketika uangnya habis untuk ongkos-ongkos, Arin meminjam uang dari ibunya yang hanya mengandalkan gaji pensiunan janda.

Aneh, pikir Arin saat ini. Dulu, ketika kuliah dan kerja, Arin sanggup menyisihkan uang untuk kurban. Menabung tiap bulan dari 50.000 sampai 100.000 hingga pada bulan Dzulhijah, Arin bisa membeli kambing, walau hanya mampu kelas B. Sekarang, begitu Arin tidak lagi berkuliah dan hanya bekerja. Jangankan untuk berkurban, Arin bingung dengan begitu banyaknya kebutuhan yang tiba-tiba.

Banyak sekali keinginan dan kebutuhan Arin yang tak terbendung. Sebagian sudah terlaksana, sebagian lain belum. Kalau dipikir memang ada beberapa kebutuhan yang benar-benar penting. Tapi, tak jarang juga, itu hanya sekadar keinginan semata.

Hidup prihatin yang Arin jalani saat itu mengajarkan Arin untuk mengatur uang sedemikian rupa dan menabung untuk bisa berkurban. Hidup berlebih di kemudian hari, sepertinya menenggelamkan Arin pada keinginan-keinginan yang belum tercapai sebelumnya.

Beberapa waktu lalu, Arin memiliki Hp dengan nilai jutaan rupiah, mencicil dari sebuah pusat penjualan elektronik. Hp sebelumnya telah rusak dan menurut Arin, itu adalah salah satu benda primer. Rencananya, setelah selesai mencicil Hp, Arin akan mencicil motor. Menurut Arin ini juga kebutuhan primer. Motor tersebut akan dipakai Arin untuk transportasi ke kantornya.

Tapi, kemudian Arin bingung. Hp-nya kini telah di tangan. Iklan motor bebek ada di meja belajarnya. Harga kambing yang ditawarkan kemarin tidak mencapai 800.000. tidak lebih dari harga Hp Arin. Tapi, ketika melihat tabungan, Arin tak lagi mendapatkan angka yang dia inginkan.

Arin jadi ingat, dia sempat mendapat nasihat dari pengajarnya dulu di kampus. Dosen Arin itu membenarkan kalau berkurban tampak berat begitu langsung mengeluarkannya dan memberi solusi dengan menabung terlebih dahulu. Seperti halnya Hp yang Arin cicil. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kenapa mencicil Hp saja bisa, sedangkan berkurban seekor kambing yang nilainya pahala, justru tidak bisa.

Mungkin banyak orang yang mengalami apa yang dialami Arin. Begitu banyak keinginan dan kebutuhan di kala penghasilan sudah mulai meningkat. Aturan matematika, ketika kebutuhan cukup menjadi tidak berlaku. Entah karena pola konsumerisme yang mulai menggerogoti atau itulah pola ekonomi secara umum. Padahal, kalau dihitung matematika, dengan penghasilan Arin yang sekarang, dia bisa berkurban dengan mudahnya. Tapi, yang terjadi malah tidak bisa sama sekali. Arin berkutat pada kebutuhan pribadi. Seolah tak akan pernah usai dan tak ada habisnya

Pernahkah kita berpikir bersama. Seringnya, nilai uang menjadi cukup besar ketika kita ingin menyalurkan ke baitul Maal, tapi lain halnya ketika dibawa ke Mall. Nilai Rp20.000 menjadi besar ketika kita ingin memasukkan ke tabung di mesjid pada waktu sholat jumat. Tapi begitu kecil ketika kita bawa ke mall. Tidak cukup untuk beli sepatu, kalau makan pun hanya bisa beli paket murah meriah.

Banyak dari kita silau dengan kehidupan duniawi. Seolah-olah segalanya yang terpajang di etalase adalah kebutuhan kita. Padahal, sering itu hanya tipuan sesaat. Yah, pikiran saat itu, benda ini ”perlu”, tapi sebenarnya hanya ”ingin”.

Seyogyanya, ketika sanggup untuk mencicil kebutuhan duniawi, kenapa malah justru sulit mencicil tabungan akhirat. Kalau segalanya dimulai dengan menabung terlebih dahulu. kita bisa mendisiplinkan diri untuk memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan .

Bahkan kita bisa saja memulai tabungan haji dari hari ini, bahkan bisa dimulai dengan nilai 5.000 perak. Saya teringat dengan tetangga saya yang mengais rezekinya dari berdagang di warung. Keinginannya begitu besar untuk pergi haji. Kemudian, ibu warung, biasa dia dipanggil, mulai bertanya pada tetangganya yang telah pergi haji. ”Nabung, Bu” Ibu warung pun mulai menabung dan siapa yang menduga. Akhirnya, biaya naik haji tersebut tertutup dengan rezeki yang tak diduga sebelumnya. Subhanallah, beliau sudah haji setelah beberapa tahun kemudian, beliau dipanggil oleh Allah Swt.

Subhanallah, kalau memang sudah niat untuk beribadah di jalan Allah, pasti ada jalan ke luar yang diberikan Allah. Seperti yang dialami bu warung dan Arin di masa prihatinnya. Sekarang, tinggal bagaimana kita mau memprioritaskan ke mana rezeki yang telah kita dapatkan dari Allah Swt.


Dua Anak Kecil Pedagang Tissu

Siang di bulan February 2008, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka mahluk mahluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya diatas jembatan penyeberangan setia budi - Jakarta , dua sosok kecil berumur kira kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastic hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue diujung jembatan, dengan keangkuhan khas
penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “Terima kasih Oom !”. Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk kearah mereka.

Kaki - kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki laki itupun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka.

Kantong hitam tampat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok disudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta . Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, duapertiga terisi tissue putih berbalut plastic transparan.

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum diwajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang manggayut langit Jakarta .

“Terima kasih ya mbak .semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

“Maaf, nggak ada kembaliannya. .ada uang pas nggak mbak ?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

“Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka, saya Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah.

“Nggak punya, tukas saya!” lalu tak lama si wanita berkata “ambil saja kembaliannya, dik !” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur.Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya segenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita
kaget, setengah berteriak ia bilang” sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja !”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !” Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya.

Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar ” Om , bisa tunggu ya, saya kebawah dulu untuk tukar uang ketukang ojek!”.

“eeh .nggak usah ..nggak usah ..biar aja ..nih !” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.

Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om , biar ditukar dulu ..sebentar”

“Nggak apa apa , itu buat kalian” Lanjut saya “jangan ..jangan Om , itu uang om sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras ” Sudah ..saya Ikhlas , mbak tadi juga pasti ikhlas ! saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari kearah saya.

” Ini deh om, kalau kelamaan , maaf ..” ia memberi saya delapan pack tissue ” Buat apa ?” saya terbengong

“Habis teman saya lama sih Om , maaf, tukar pakai tissue aja dulu ” walau dikembalikan ia tetap menolak.

Saya tatap wajahnya , perasaan bersalah muncul pada rona mukanya . Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastic hitam tissuenya.

Beberapa saat saya mematung di sana , sampai sikecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.”Terima kasih Om !”..mereka kembali keujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan ” Duit mbak tadi gimana ..? ” suara kecil yang lain menyahut “lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin…” percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali kekantor dengan seribu perasaan.

Tuhan ..Hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta-minta dengan berdagang Tissue.

Dua anak kecil yang bahkan belum baligh , memiliki kemuliaan diumur mereka yang begitu belia.

YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO. Engkau hanya semulia yang kau kerjakan.

Saya membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rizki kita meski dalam rizki itu sebetulnya ada milik orang lain.

“Usia memang tidak menjamin kita menjadi Bijaksana, kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak”
Baca selengkapnya WISATA ILMU MAGETAN

Kamis

Wali Songo & Wali Pitu

Wali Songo

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak- Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan, kesenian dan kemasyarakatan hingga pemerintahan. Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa, yakni nuansa Hindu dan Budha.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam penyiaran dan penyebaran agama Islam di Jawa pada dahulu dipelopori oleh para mubaligh Islam yang lebih dikenal dengan sebutan "wali". Adapun pada wali ini jumlahnya ada sembilan yang dianggap merupakan kepala kelompok dari sejumlah besar mubaligh-mubaligh Islam yang bertugas mengadakan operasi di daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam.
Mengenai nama-nama dari para Wali Sanga yang umum dikenal dikalangan masyarakat sekarang adalah terdiri dari :"maulana malik ibrahim" "sunan ampel", "sunan bonang", "sunan giri", "sunan drajat", "sunan kalijaga", "sunan kudus", "sunan muria" dan "sunan gunungjati".
Adapun yang mengatakan, bahwa Sunan Tembayat, Sunan Prawoto, Sunan Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Benang, Sunan Mohoagung, "syekh siti jenar", Syekh Subakir, Maulana Ishak dan lain-lain. Itu juga termasuk anggota dari kesembilan wali di Jawa. Akan tetapi yang popouler serta dikenal oleh umum ialah apa yang kita sebutkan diatas.
Mengenai daftar nama-nama dari anggota Wali Sanga ini para ahli sejarah sebetulnya masih berselisih paham, dan belum ada kesatuan pendapat. Akan tetapi oleh karena maksud kita disini bukanlah hendak menitik-beratkan kepada nama-nama ataupun silsilah mereka, melainkan kita disini lebih mengutamakan isi perjuangan dari para wali sanga tersebut diatas. Oleh sebab itu mengenai nama-nama dari pribadi wali serta silsilahnya pada kesempatan ini tidak akan kita bahas secara mendalam.

SUMBER LAINNYA

Senja hampir bergulir di Desa Gapuro, Gresik, Jawa Timur, menjelang bulan Ramadhan itu. Tak ada angin. Awan seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu terpacak bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8 April 1419.
Di latar nisan itu tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Taubah 21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik Ibrahim: ”Ia guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan menteri meminta nasihat. Orang yang santun dan murah hati terhadap fakir miskin. Orang yang berbahagia karena mati syahid, tersanjung dalam bidang pemerintahan dan agama.”
Demikian terjemahan bebas inskripsi di nisan pualam makam berbangun lengkung menyerupai kubah itu. Dalam beberapa sumber sejarah tradisional, Syekh Maulana Malik Ibrahim disebut sebagai anggota Wali Songo, tokoh sentral penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali.
”Ia seorang mubalig paling awal,” tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
Sekalipun Malik Ibrahim tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo, masih menurut Hoessein, jelas dia adalah seorang wali. Adapun istilah Wali Songo berasal dari kata ”wali” dan ‘’songo”. Kata wali berasal dari bahasa Arab, waliyullah, orang yang dicintai Allah –alias kekasih Tuhan. Kata songo berasal dari bahasa Jawa, yang berarti sembilan.
Ada wali yang termasuk anggota Wali Songo –yang terdiri dari sembilan orang– dan ada wali yang bukan anggota ”dewan” Wali Songo. Konsep ”dewan wali” berjumlah sembilan ini diduga diadopsi dari paham Hindu-Jawa yang berkembang sebelum masuknya Islam. Wali Songo seakan-akan dianalogikan dengan sembilan dewa yang bertahta di sembilan penjuru mata angin.
Dewa Kuwera bertahta di utara, Isana di timur laut. Indra di timur, Agni di tenggara, dan Kama di selatan. Dewa Surya berkedudukan di barat daya, Yama di barat, Bayu, atawa Nayu, di barat laut, dan Siwa di tengah. Para wali diakui sebagai manusia yang dekat dengan Tuhan. Mereka ulama besar yang menyemaikan benih Islam di Jawadwipa.
Figur para wali –sebagaimana dikisahkan dalam babad dan ”kepustakaan” tutur– selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Namun, hingga sekarang, belum tercapai ”kesepakatan” tetang siapa saja gerangan Wali nan Sembilan itu. Terdapat beragam-ragam pendapat, masing-masing dengan alasannya sendiri.
Pada umumnya orang berpendapat, yang terhisab ke dalam Wali Songo adalah: Syekh Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik, Raden Rakhmad alias Sunan Ampel, Raden Paku alias Sunan Giri, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, Raden Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang, Syarifuddin alias Sunan Drajat, Jafar Sodiq alias Sunan Kudus, Raden Syahid alias Sunan Kalijaga, dan Raden Umar Sayid alias Sunan Muria.
Namun, komposisi Wali nan Sembilan ini juga punya banyak versi. Prof. Soekmono dalam bukunya, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III, tidak memasukkan Syekh Maulana Malik Ibrahim dalam jajaran Wali Songo. Guru besar sejarah kebudayaan Universitas Indonesia itu justru menempatkan Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang, sebagai anggota Wali Songo.
Sayang, Soekmono tak menyodorkan argumentasi mengapa Maulana Malik Ibrahim tidak termasuk Wali Songo. Ia hanya menyebut Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sangat populer. Siti Jenar dihukum mati oleh Wali Songo, karena dinilai menyebarkan ajaran sesat tentang jubuhing kawulo Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang dapat mengguncang iman orang dan menggoyahkan syariat Islam.
Selain itu, Wali Songo juga ditafsirkan sebagai sebuah lembaga, atau dewan dakwah. Istilah sembilan dirujukkan dengan sembilan fungsi koordinatif dalam lembaga dakwah itu. Teori ini diuraikan dalam buku Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid.
Kedua penulis itu merujuk pada kitab Kanz Al-’ulum karya Ibn Bathuthah. Mereka menjelaskan, sebagai lembaga dewan dakwah, Wali Songo paling tidak mengalami lima kali pergantian anggota. Pada periode awal, anggotanya terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad Al-Kubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasanuddin, Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Pada periode kedua, Raden Rakhmad (Sunan Ampel), Sunan Kudus, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), dan Sunan Bonang masuk menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Malik Israil, Ali Akbar, dan Maulana Hasanuddin –yang wafat. Pada periode ketiga, masuk Sunan Giri, menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Aceh, dan Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang pulang ke Persia.
Pada periode keempat, Raden Patah dan Fatullah Khan masuk jajaran Wali Songo. Kedua tokoh ini menggantikan Ahmad Jumad Al-Kubra dan Muhammad Al-Magribi yang wafat. Sunan Muria menduduki lembaga Wali Songo dalam periode terakhir. Ia menggantikan Raden Patah, yang naik tahta sebagai Raja Demak Bintoro yang pertama.
Analisis tersebut secara kronologis mengandung banyak kelemahan. Contohnya Sunan Ampel, yang diperkirakan wafat pada 1445. Dalam versi ini disebutkan, seolah-olah Sunan Ampel masih hidup sezaman dengan Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Padahal, Sunan Kudus hidup pada 1540-an.
Adapun Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang merupakan guru Sunan Kalijaga, yang berputra Sunan Muria. Bagaimana mungkin Sunan Ampel hidup sezaman dengan Sunan Muria? Lagi pula, tokoh Wali Songo yang disebut dalam buku ini –Aliyuddin, Ali Akbar, dan Fatullah Khan– bukan wali terkenal di Jawa.
Nama mereka jarang ditemukan dalam historiografi tradisional, baik berupa serat maupun babad. Padahal, di Jawa terdapat puluhan naskah kuno berupa babad, hikayat, dan serat, yang mengisahkan para wali. Sebagian besar babad juga menggambarkan, Wali Songo hidup dalam kurun waktu yang bersamaan.
Para wali, menurut versi babad, dikisahkan sering mengadakan pertemuan di Masjid Demak dan Masjid ”Sang Cipta Rasa” (Cirebon). Di sana mereka membicarakan berbagai persoalan keagamanan dan kenegaraan. Kisah semacam ini, antara lain, dapat dibaca di Babad Demak, Babad Cirebon, dan Babad Tanah Jawi.
Babad Cirebon, misalnya, mewartakan bahwa pada 1426, para wali berkumpul di Gunung Ciremai. Mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin Sunan Ampel, membentuk ”Dewan Wali Songo”. Sunan Gunung Jati ditunjuk selaku wali katib, atau imam para wali. Anggotanya terdiri dari Sunan Ampel, Syekh Maulana Magribi, Sunan Bonang, Sunan Ngudung alias Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Syekh Lemah Abang, Syekh Betong, dan Sunan Majagung.
Ditambah dengan Sunan Gunung Jati, jumlah wali itu malah menjadi 10 orang. Nama-nama Wali Songo yang tertulis di Babad Cirebon tersebut berbeda dengan yang tersurat di Babad Tanah Jawi. Dalam Babad Tanah Jawi, yang berasal dari Jawa Tengah, tidak ditemukan nama Syekh Betong dan Syekh Majagung. Sebagai gantinya, akan dijumpai nama Sunan Giri dan Sunan Drajat.
Tapi, peran Wali Songo jelaslah tak sebatas di bidang keagamaan. Mereka juga bertindak selaku anggota dewan penasihat bagi raja. Bahkan, Sunan Giri membentuk dinasti keagamaan, dan secara politis berkuasa di wilayah Gresik, Tuban, dan sekitarnya. Ia mengesahkan penobatan Joko Tingkir sebagai Raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah kekuasaan Raja Demak surut.
Di luar Wali Songo, ada puluhan tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang juga dianggap sebagai wali. Hanya, biasanya mereka berkuasa di kawasan tak seberapa luas. Sunan Tembayat, misalnya, dikenal sebagai pedakwah di Tembayat, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Ia dilegendakan sebagai murid Sunan Kalijaga.
Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki Ageng Pandanarang. Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H. Pigeuad, Pandanaran meninggalkan singgasananya lantaran gandrung akan ajaran Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512, Pandanarang menyerahkan tampuk pemerintahan kepada adik laki-lakinya.
”Ia bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,” tulis De Graaf dan Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ”Pasangan bangsawan Jawa ini berkelana mencari ketenangan batin, sembari berdakwah,” kedua pakar sejarah dari Universitas Leiden, Negeri Belanda, itu menambahkan.
Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di Wedi, Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai guru mengaji. Di sana selama 25 tahun, Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia wafat pada 1537 dan dimakamkan di situ. Bangunan kompleks makam Sunan Tembayat terbuat dari batu berukir, menyerupai bentuk Candi Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.
Pada prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada 1566 oleh Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ”Kemudian, pada 1633, Sultan Agung dari Mataram memperluas dan memperindah bangunan makam Tembayat,” tulis De Graaf. Cerita tutur tentang kesaktian orang suci dari Semarang yang dimakamkan di Tembayat ini, menurut De Graaf, sudah beredar luas di kalangan masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17.
Kisah ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari Yogyakarta, yang ditulis pada 1677. Naskah tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini, bukti sejarah itu tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ”Dengan begitu, legenda itu punya inti kebenaran,” tulis De Graaf, yang dijuluki ”Bapak Sejarah Jawa”.
Selain Sunan Tembayat –menurut versi Babad Tanah Jawi– Sunan Kalijaga juga punya murid lain, Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah, dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah menyadap nira.
Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.
Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan murid-muridnya mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya, karena tempat berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.
Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar, mulutnya berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng. Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik.
Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik –anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.
Kia Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.
Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan para santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu…. Ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ”gotong royong” itu.
Kisah Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari sekian banyak mitos tentang para wali. Legenda keagamaan yang ditulis babad, menurut De Graaf, sedikit nilai kebenarannya. Hanya yang mengenai wali-wali terkemuka, katanya, ada kepastian sejarah yang cukup kuat. Makam mereka masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati. Pada kurun abad ke-16 hingga abad ke-17, keturunan para wali juga memegang peranan penting dalam sejarah politik Jawa.
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Sunan Gresik / Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim, dikenal pula dengan sebutan Syekh Maghribi atau juga Sunan Gresik. Meskipun beliau bukan asli orang Jawa, namun beliau berjasa kepada masyarakat. Karena beliaulah yang mula pertama menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Sehingga berkat usaha dan jasanya, penduduk pulau Jawa yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Buddha di kala itu akhirnya mulai banyak yang memeluk Islam. Adapun dari kalangan orang-orang Hindu, hanya dari kasta-kasta Waisya dan Sudra yang dapat diajak memeluk Islam. Sedang dari kasta-kasta Brahmana dan Ksatria pada umumnya tidak suka memeluk Islam, bahkan tidak sedikit dari kalangan Brahmana yang lari sampai ke Pulau Bali serta menetap di sana. Mereka akhirnya mempertahankan diri hingga sekarang dan agama mereka kemudian dikenal dengan sebutan agama Hindu Bali.

Maulana Malik Ibrahim mulai menyiarkan Islam di tanah Jawa bagian timur. Dari sanalah beliau memulai menyingsingkan lengan bajunya, berjuang untuk mengembangkan Islam. Adapun caranya pertama-tama ialah dengan jalan mendekati pergaulan dengan masyarakat. Dengan budi bahasa yang ramah tamah serta ketinggian akhlak, sebagaimana diajarkan Islam, hal itu senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Beliau tidak menentang secara tajam kepada agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli. Begitu pula beliau tidak menentang secara spontan terhadap adat istiadat yang ada serta berlaku dalam kehidupan mereka, melainkan beliau hanya memperlihatkan keindahan dan ketinggian ajaran-ajaran dan didikan yang dibawa Islam. Berkat keramahtamahannya serta budi bahasa dan pergaulannya yang sopan santun itulah, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam Islam.

Untuk mempersiapkan kader umat yang terdidik bagi melanjutkan perjuangan guna menegakkan ajaran-ajaran Islam, maka dibukanyalah pesantren-pesantren yang merupakan perguruan Islam tempat mendidik serta menggembleng para siswa sebagai calon muballigh Islam untuk masa depan. Bertambah banyak orang yang masuk Islam, bertambah berat pula tugas dan pekerjaannya. Tentu saja orang-orang itu tidak dibiarkan begitu saja. Mereka harus diberi didikan dan penerangan secukupnya sehingga keimanannya menjadi kuat dan keyakinannya menjadi kokoh.

Di dalam usaha yang demikian itu, beliau kemudian menerima tawaran dari raja negeri chempa [sekarang kamboja] salah seorang selir raja majapahit terakhir Brawijaya alias Angka Wijaya putri raja chempa yang muslimah. Berangkat dari chempa bersama dayang dan ustad ibu dari raden patah sultan demak putra raja majapahit yang kemudian berontak melawan ayahnya yang hindu. Majapahit yang sudah tak disukai rakyat jawa dan sudah lemah lari mendirikan kerajaan belambangan. Yang taklama kemudian diserang lari ke pulau bali. Di bali raja udayana adalah menantu brawijaya. Itu sebabnya bali tidak diserang [karena ada saudara perempuan dan ayahnya. Sultan demak, tetapi pulau disebelah timurnya lagi pulau lombok di islamkan itu sebabnya kota di pulau lombok. Bernama mataram dan pulau
Sumbawa.

Dalam riwayat dikatakan, bahwa Maulana Maghribi itu adalah keturunan dari Zainal 'Abidin bin Husein bin 'Ali ra., keterangan ini menurut buku karangan Thomas Stamford Raffles. Sebagaimana diketahui, Raffles (1781-1826) adalah seorang politisi Inggris, serta bekas GubJen Inggris di Nusantara 1811-1816. Adapun bukunya yang terkenal mengenai tanah Jawa ialah History of Java (Sejarah Jawa) yang ditulisnya pada tahun 1817.

Mengenai filsafat ketuhanannya, di antaranya Syekh Maulana Malik Ibrahim pernah mengatakan apakah yang dinamakan Allah itu? Ujarnya : "Yang dinamakan Allah ialah sesungguhnya yang diperlukan ada-Nya."

Menurut sebagian riwayat mengatakan bahwa beliau berasal dari Persia. Bahkan dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim beripar dengan raja di negeri Chermain. Mengenai letak negeri Chermain ini berselisihlah para sejarawan. Raffles berpendapat, bahwa Chermain itu terletak di Hindustan, sedangkan sejarawan lainnya mengatakan bahwa letaknya Chermain adalah di Indonesia.

Adapun mengenai orang tuanya, kapan beliau dilahirkan serta di mana, dalam hal ini belum diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan bahwa beliau berasal dari Kasyan, Persia. Bilamana beliau meninggal dunia? Kalau ditilik dari batu nisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, dekat Surabaya terukir tahun meninggalnya 882 H (1419 M).
Salah satu sumber menyebutkan, bahwa beliau berasal dari Gujarat di India, yang rupanya di samping berniaga, beliau juga menyiarkan Islam.

Makam Maulana Malik Ibrahim terletak di kampung Gapura di Gresik. Sekarang jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.

Dalam sejarah, beliau dianggap sebagai pejuang utama serta pelopor dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, dan besar pula jasanya terhadap agama dan masyarakat.
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarqandy diperkirakan lahir di Samarqand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syeikh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarqand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Maulana Malik Ibrahim, dikenal juga dengan sebutan Maghribi atau Syekh Maghribi. Meskipun beliau bukan asli orang Jawa, namun beliau telah berjasa kepada masyarakat. Karena beliaulah yang mula pertama memasukkan islam ke tanah Jawa. Sehingga berkat usaha dan jasanya, penduduk pulau jawa yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Buddha di kala itu, akhirnya mulai banyak memeluk agama Islam. Adapun dari kalangan orang-orang Hindu, hanya dari kasta-kasta Waisya dan Syudra yang dapat di ajak memeluk agama Islam. Sedang dari kasta-kasta Brahmana dan Ksatria pada umumnya tidak suka memeluk Islam, bahkan tidak sedikit dari kalangan Brahmana yang lari sampai ke pulai Bali, serta menetap disanalah mereka akhirnya mempertahankan diri hinggga sekarang, dan agama mereka kemudian dikenal dengan sebutan agama Hindu Bali. Apabila dikalangan kaum Brahmana dan Ksatria tidak suka masuk agama Islam, hal itu mudah dimengerti karena bagi mereka tentunya agak berat untuk duduk sejajar bersama-sama dengan kaum Waisya dan Syudra yang selama ini mereka hina.

Sudah barang tentu dengan adanya konsepsi Islam yang radikal dan revoulsioner dalam bidang sosial, sukar sekali untuk diterima dengan kedua belah tangan terbuka oleh mereka. Sebab bukankah mereka selama ini telah didewa-dewakan, tiba-tiba turun tahta, duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bekas hamba sahaya mereka, rakyat jelata yang selama ini telah memuja serta mendewa-dewakan mereka.

Maulana Malik Ibrahim mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa didaerah Jawa Timur. Dari sanalah dia memulai menyingsingkan lengan bajunya, berjuang untuk mengembangkan agama Islam. Adapun caranya pertama-tama ialah dengan jalan mendekati pergaulan dengan anak negeri. Dengan budi bahasa yang ramah tamah serta ketinggian akhlak, sebagaimana diajarkan oleh Islam, hal itu senantiasa diperlihatkannya didalam pergaulan sehari-hari.

Beliau tidak menentang secara tajam kepada agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli. Begitu pula beliau tidak menentang secara spontan terhadap adat istiadat yang ada serta berlaku dalam masyarakat kita yang masih memeluk agama Hindu dan Buddha itu, melainkan
beliau hanya memperlihatkan keindahan dan ketinggian ajaran-ajaran dan didikan yang dibawa oleh Islam. Berkat keramah tamahannya serta budi bahasa dan pergaulannya yang sopan santun itulah, banyak anak negeri yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.

Untuk mempersiapkan kader ummat yang terdidik bagi melanjutkan perjuangan guna menegakkan ajaran-ajaran Islam di tanah air kita, maka dibukanyalah pesantren-pesantren yang merupakan perguruan Islam tempat mendidik serta menggembleng para siswa sebagai calon mubaligh Islam untuk masa depan.

Bertambah banyak orang yang masuk Islam, bertambah berat pula tugas dan pekerjaannya. Tentu saja orang-orang itu tidak dibiarkan begitu saja. Mereka harus diberi didikan dan penerangan secukupnya sehingga keimanannya menjadi kuat dan keyakinannya menjadi kokoh.

Di dalam usaha yang sedemikian itu, beliau kemudian menerima tawaran dari raja negeri Cheermen, raja Cheermen itu sangat berhajat untuk meng-Islam-kan raja Majapahit yang masih beragama Hindu.

Seperti ternyata kemudian, dari hasil didikannya akhirnya tersebar diseluruh penjuru tanah air mubaligh-mubaligh islam yang dengan tiada jemu-jemunya menyiarkan ajaran-ajaran agamanya.

Dalam riwayat dikatakan, bahwa maulana maghribi itu adalah keturunan dari Zainul Abidin Bin Hassan Bin Ali ra, keterangan ini menurut buku karangan Sir Thomas Stamford Raffles.

Sebagaimana diketahui, Stamford Raffles (1781-1826) adalah seorang ahli politik Inggris, serta bekas letnan Gubernur Inggris ditanah Jawa dari tahun 1811-1816 M. Adapun bukunya yang terkenal mengenai tanah Jawa adalah : "History of Java" yang ditulisnya pada tahun 1817 M.
Mengenai filsafat Ketuhannya, diantaranya Syekh Maulana Malik Ibrahim pernah mengatakan apakah yang dinamakannya Allah itu ? ujarnya "Yang dinamakan Allah ialah sesungguhnya yang diperlukan adanya,...............? Menurut setengah riwayat mengatakan, bahwa beliau berasal dari Persia. Bahkan dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim beripar dengan raja di negeri Cheermen.

Mengenai letak negeri Cheermen itu terletak di Hindustan, sedangkan ahli sejarah yang lain mengatakan bahwa letaknya Cheermen adalah di Indonesia. Adapun mengenai nama kedua orang tuanya, kapan beliau dilahirkan serta dimana, dalam hal ini belum diketahui dengan pasti. ada yang mengatakan bahwa beliau berasal dari Kasyan (Persia). Bilamana beliau meninggal dunia ? Kalau ditilik dari batu nisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, dekat Surabaya terukir sebagai tahun meninggalnya 882 H, atau tahun 1419 M. Di dalam sumber menyebutkan, bahwa beliau itu berasal dari Gujarat India, yang rupanya disamping berniaga, beliau juga menyiarkan agama Islam Makam Maulana Malik Ibrahim yang terletak dikampung Gapura di Gresik, sekarang jalan yang menuju kemakam tersebut diberi nama jalan Malik Ibrahim.

Dalam sejarah beliau dianggap sebagai pejuang seta pelopor dalam menyebarkan agama Islam ditanah Jawa, dan besar pula jasa beliau terhadap agama dan masyarakat.

SUMBER LAINNYA
Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara gemuruh. Makin lama makin riuh.

Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --bergegas masuk ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk.

''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak, akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin.

Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya.

Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin, yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur.

Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut.

Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.'' Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan tertarik memeluk agama Islam.

Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah padang pasir.

Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut, kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk agama Islam.

Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja).

Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun terdapat beberapa versi.

Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan Majapahit.

Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah.

Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya: membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak pernah mau dibayar.

Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan masjid.

Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki ''Kakek Bantal''.

Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategis.

Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia.

Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya.

Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami Kencana Wungu.

Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim.

Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.

Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik.

Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419

Sunan Ampel / Raden Rachmat

Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orangtua Sunan Ampel adalah Ibrahim Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.

Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan seorang putri yang kemudian menjadi istri Sunan Kalijaga.

Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Mesjid Ampel, Surabaya.

Ia adalah putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Di antaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa- rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentral pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Raden Rahmat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel, adalah terkenal sebagai salah seorang wali yang telah ikut pula menegakkan agama Islam, untuk memulai usahanya, maka Raden Rahmat membuka pondok pesantren di Ampeldenta di Surabaya. Di tempat inilah hendak dididiknya para pemuda-pemuda islam sebagai kader yang terdidik, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat diseluruh pulau jawa. Seperti kita ketahui Raden Paku yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi Sultan pertama dari kerajaan Islam di Bintoro Demak, Raden Makdum Ibrahim (puteranya sendiri) yang belakangan dikenal dengan dengan sebutan Sunan Bonang, Syarifuddin (puteranya sendiri) yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang
pernah diutus ke daerah Blambangan untuk meng-Islam-kan rakyat disana.

Dan bukan menjadi rahasia lagi, bahwa Raden Rahmat atau Sunan Ampel yang menjadi perencana dari kerajaan islam pertama di jawa yang beribu kota di Bintoro Demak, dengan mengangkat Raden Patah sebagai Sultannya yang pertama. Negara baru di Demak itu adalah hasil rencana dari Sunan Ampel. Inilah jasa beliau yang besar. Semasa hidupnya beliau ikut pula mendirikan Masjid Agung demak yang dibangun kira-kira pada tahun Saka 1401 atau kira-kira bertepatan dengan tahun Masehi 1479.

Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa berdirinya masjid Demak adalah berdasarkan candrasengkala yang berbunyi : "Kori Trus Gunaning Janmi" yang artinya adalah tahun Saka 1399 atau bertepatan dengan tahun 1477 M. Adapun berdirinya kerajaan Bintoro Demak bersengkala "Geni Mati Siniram Janmi", yang artinya api mati disiram orang.
Bagaimana pendapat Sunan Ampel terhadap berbagai masalah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat kiranya dapatlah kita ketahui dari hasil pada pemusyawaratan para wali. Pada waktu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersesaji itu dimasuki rasa ke-Islam-an, maka Sunan Ampel pun bertanyalah :

"Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari ? bahwa adat isitadat dan upacara-upacara lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran islam, sebab kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid'ah?".

Pertanyaan Sunan Ampel ini kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :

"Saya setuju dengan pendapatnya Sunan Kalijaga, sebab menurut pelajaran agama Budha itu ada persamaannya dengan ajaran Islam, yaitu orang kaya harus menolong kepada fakir miskin. Adapun mengenai kekhawatiran tuan, saya mempunyai keyakinan bahwa dikemudian hari akan ada orang Islam yang akan menyempurnakannya".

Raden Rakhmat dilahirkan kira-kira dalam tahun 1401 M, di Champa, sebagai putera dari raja Champa. Mengenai nama Champa ini berselisih para ahli sejarah. Kalau menurut Encyclopedia Van Nederlandesh Indie, Champa ini suatu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Akan tetapi Raffles, mengatakan bahwa champa itu bukan di kamboja, tetapi terletak di Aceh (Sumatera) yang sekarang bernama : Jeumpa.

Hal ini besar kemungkinan, mengingat bahwa Aceh dalam sejarah terkenal sebagai daerah pertama di Indonesia yang memeluk agama Islam. Menurut riwayat dikatakan, bahwa Sunan Ampel adalah putera dari Ibrahim Asmarakandi yang dikatakan berasal dari Champa dan menjadi raja di sana. Kemudian wafat pada tahun 1425 M, serta dimakamkan di Tuban.

Sunan Ampel kemudian kawin dengan putri Tuban bernama Nyai Ageng Manila, dari perkawinannya ini beliau memperoleh 4 orang putra: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Putri Istri Sunan Kalijaga.

Pada waktu kerajaan Islam Demak berdiri, Sunan Ampel juga yang mengangkat serta menetapkan Raden Patah yang berkedudukan di desa Glagah Wangi yang kemudian bertukar nama menjadi Bintoro Demak, sebagai Sultan pertama dengan gelar: Sultan Alam Akbar Al Fatah. Adapun kota demak letaknya disebelah selatan kota Kudus, jarak 25 km jauhnya. Itulah sedikit mengenai diri dan perjuangan Sunan Ampel.

SUMBER LAINNYA

PRABU Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ''kesibukan'' harian kaum bangsawan --pun rakyat kebanyakan.

Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ''Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,'' kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ''Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,'' Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa --kini wilayah Kamboja.

Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.

Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23.

Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada 1443.

Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 --tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah).

Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit.

Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.

Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah.

Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel.

Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang --dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.

Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ''salat'' diganti dengan ''sembahyang'' (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ''langgar'', mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri --orang yang tahu buku suci agama Hindu.

Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ''Sunan Ampel'' mulai populer.

Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ''Moh Limo''. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).

Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.

Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus.

''Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?'' kata Sunan Ampel. ''Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.'' Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.

Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.

Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda.

Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ''Ngulama Ampel Seda Masjid''. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan santrinya.

Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.

Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552, awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan puasa.

Sunan Giri / Joko Samudra

Sunan Giri lahir di Blambangan, pada tahun 1442. Ayahnya bernama Maulana Ishak, saudara kandung dari Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri memiliki beberapa nama: Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden Ainul Yaqin dan Jaka Samudra.

Ketika kecil, Sunan Giri berguru pada Sunan Ampel, dan berkenalan dengan Sunan Bonang, yang kemudian bersama-sama pergi belajar ke tanah Arab. Setelah kembali ke Jawa, dia mendirikan pondok pesantren di daerah perbukitan desa Sidomukti, Gresik. Nama giri berasal dari bahasa Jawa, yang berarti gunung.

Beberapa karya seni yang sering dihubungkan dengan Sunan Giri antara lain: permainan anak tradisional jawa seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng. Kemudian juga gending Asmaradana dan Pucung, seringkali dihubungkan dengan Sunan Giri.

Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya--seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Mau lana Ishak, saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit --konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan-- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara.

Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fiqih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

Sewaktu Sunan Ampel masih hidup, di Gresik ada pula seorang penganjur agama yang terkenal, namanya Raden Paku, disebut juga sebagai Prabu Satmata, atau Sultan Abdul Fakih, beliau adalah putera Maulana Ishak dari Blambangan (di Jawa Timur). Maulana Ishak dikatakan dari Blambangan, oleh karena beliau ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam di daerah Blambangan yang pada masa itu masih kuat memeluk agama Hindu dan Budha.

Berhubung ayahnya ke pasai dan tidak kembali lagi ke tanah Jawa maka Raden Paku kemudian diambil sebagai putera angkat oleh salah seorang wanita kaya, Nyi Gede Maloka namanya.
Kalau di babad tanah jawa, disebut Nyai Ageng Tandes atau Nyai Ageng saja.

Sesudah beliau besar disekolahkannya ke Ampel untuk berguru kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Di sana Raden Paku bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim, putera-putera Sunan Ampel yang kemudian bergelar Sunan Bonang.

Kemudian bersama-sama dengan Maulana Makdum Ibrahim, Raden Paku oleh Sunan Ampel di suruh pergi haji ke Tanah Suci, sampai memperdalam ilmunya. Tetapi mereka sebelum sampai di tanah suci singgah terlebih dahulu di Pasai (Aceh), untuk menuntut ilmu kepada para ulama disana.

Adapun yang di maksud ilmu di sini, adalah ilmu ke Tuhanan menurut ajaran tasawuf. Konon kabarnya memang banyak ulama-ulama keturunan India dan Persia yang membuka pengajian di pasai di waktu itu. Bahkan banyak pula ulama-ulama dari Malaka juga kadang-kadang datang bertanya tentang sesuatu masalah ke Pasai.

Sesudah kedua tunas muda itu selesai menuntut pelajaran di sana, merekapun kembalilah ke tanah Jawa. Raden Paku berhasil mendapat "Ilmu Laduni", sehingga gurunya di pasai memberinya nama "Ainul Yaqin".

Raden Paku sekembalinya di tanah Jawa mengajarkan agama Islam menurut bakatnya. Raden paku atau Syekh Ainul Yaqin mengadakan tempat berkumpul yang boleh disebut pondok pesantrennya di Giri. Dimana murid-muridnya terdiri pada orang-orang kecil (rakyat jelata).
Sungguh amat besar jasa Sunan Giri semasa hidupnya, karena beliaulah yang mengirimkan utusan (mission secree) keluar Jawa. Mereka terdiri dari pelajar, saudagar, nelayan. Mereka dikirim oleh Sunan Giri ke pulau Madura. Juga ke Bawean dan Kangean, bahkan sampai ke Ternate dan Haruku di kepulauan Maluku. Amat besar pengaruh Sunan Giri terhadap jalannya roda pemerintahan di kerajaan Islam Demak, sehingga sesuatu soal yang penting senantiasa menantikan sikap dan keputusan yang diambil oleh Sunan Giri. Oleh para wali lainnya, beliau dihormati serta disegani.

Pada waktu dahulu Giri adalah menjadi sumber ilmu keagamaan, dan termasyhur diseluruh tanah Jawa dan sekelilingnya. Dari segala penjuru, baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah banyak yang pergi ke Giri untuk berguru kepada Sunan Giri. Beliaulah kabarnya yang menciptakan gending Asmaradana dan Pucung.

Daerah penyiarannya sampai ke Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Madura, menurut setengah riwayat, Sunan Giri-lah yang menghukum sesat terhadap diri Syekh Siti Jenar, karena mengajarkan ilmu yang berbahaya pada rakyat. Sunan Giri adalah terhitung seorang ahli pendidik (pedagang) yang berjiwa demokratis. Beliau mendidik anak-anak dengan jalan membuat bermacam-macam permainan yang berjiwa agama. Seperti misalnya : jelungan, jamuran, gendi gerit, jor, gula ganti, cublak-cublak suweng, ilir-ilir dan sebagainya.

Diantara permainan kanak-kanak hasil ciptaan/gubahannya adalah rupa "jitungan" atau "jelungan". Adapun caranya adalah begini :
Anak-anak banyak, satu diantaranya menjadi "pemburu", lain-lainnya jadi "buruan" mereka ini akan 'selamat' atau 'bebas' dari terkaman ‘pemburunya', apabila telah berpegangan pada 'jitungan', yaitu satu pohon, tiang atau tonggak yang telah ditentukan terlebih dahulu.

Permainan dimaksudkan untuk mendidik pengertian tentang keselamatan hidup, yaitu : bahwa apabila sudah berpegangan kepada agama yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa sajalah, maka manusia (buruan) itu akan selamat dari terkaman iblis (pemburunya).

Di samping itu diajarkannya pula nyanyian-nyanyian untuk kanak-kanak yang bersifat paedagogis serta berjiwa agama, Di antaranya adalah berupa 'tembung dolanan bocah' (lagu permainan anak-anak), yang berbunyi sebagai berikut :

"Padang-padang bulan, ayo gage da dolanan, dolanane naning latar, ngalap padang gilar-gilar, nundang bagog hangatikar", yang dalam bahasa indonesianya kira-kira begini :

"Terang-terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil manfaat dari terang benderang, mengusir gelap yang lari terbirit-birit".

Adapun maksud dari tembang tersebut di atas itu adalah : Agama Islam (bulan) telah datang memberi penerangan hidup, maka marilah segera orang menuntut penghidupan (dolanan, bermain) di bumi ini (latar, halaman) akan mengambil manfaat ilmu agama Islam (padang, gilar-gilar, terang benderang) itu, agar sesat kebodohan diri (begog, gelap) segera terusir.

Disamping itu terkenal pula tembang buat kanak-kanak yang bernama "Ilir-ilir" yang isinya mengandung filsafat serta berjiwa agama. Bunyi selengkapnya adalah demikian.

"Lir-ilir, lir ilir, tandure wing angilir, sing ijo royo-royo, tak sengguh kemanten anyar. cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro. dodotiro-dodotiro, kumitir bedah ing pinggir, dondomana jrumatana, kanggo sebo mengko sore, mumpung gede rembulane, mumpung jembar kalangane, ndak sorak hore."

Adapun maksudnya adalah demikian : sang bayi yang baru lahir di dalam dunia ini masih suci bersih, murni, sehingga ibarat seperti penganten baru, siapa saja ingin memandangnya, "bocah angon" (pengembala) itu diumpamakan santri, mualim, artinya orang yang menjalankan syariat agama. Sedangkan "blimbing" diibaratkan blimbing itu mempunyai/terdiri dari lima belahannya, maksudnya untuk menjalankan sembahyang lima waktu. Meskipun "lunyu-lunyu" (licin). Tolong panjatkan juga, kendatipun sembahyang itu susah, namun kerjakanlah, buat membasuh "dodotira-dodotira, kumitir bedah ing pinggir" maksudnya kendatipun sholat itu susah, tetapi kerjakan guna membasuh hati dan jiwa kita yang kotor ini.
"Dondomono, jrumatana, kanggo sebo mengko sore, dan surak-surak sore". Maksudnya " bahwa orang hidup di dalam dunia ini senantiasa condong kearah berbuat dosa segan mengerjakan yang baik dan benar serta utama, sehingga dengan menjalankan sholat itu diharapkan besuk dikelak kemudian dapat kita buat sebagai bekal kita dalam menghadap kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, bekal itu adalah beramal saleh. Itulah diantara lain buah ciptaan Sunan Giri. Mengenai tembang (lagu) ilir-ilir ini ada pula yang berpendapat, bahwa itu adalah ciptaan Sunan Kalijaga. Akan tetapi mengingat bahwa diantara wali sanga, Sunan Giri yang terkenal sebagai seorang pendidik yang gemar menciptakan lagu-lagu kanak-kanak maka besar dugaan kita bahwa lagu tersebut adalah ciptaan beliau juga. Jika tidak, yang pasti adalah bahwa tembang tersebut adalah ciptaan pada jaman wali. Apakah benar ciptaan Sunan Kalijaga atau gubahan bersama dengan Sunan Giri, itu adalah soal secundair.

Sesudah beliau wafat, kemudian dimakamkan di atas bukit Giri (Gresik). Setelah Sunan Giri meninggal dunia, berturut-turut digantikan oleh Sunan Delem, Sunan Sedam Margi, Sunan Prapen.

Tatkala Sunan Prapen pada tahun 1597 M, wafat beliau digantikan Sunan Kawis Guna, kemudian setelah Sunan Guwa wafat diganti oleh Panembahan Agung. Pada tahun 1638 M Panembahan Agung Giri diganti oleh Panembahan Mas Witana Sideng Rana, beliau wafat pada tahun 1660 M. Kemudian atas perintah Sunan Amangkurat I, Pangeran Puspa Ira (Singonegoro) ditempatkan di Giri. Mulai saat Sunan Amangkurat II memegang kendali pemerintahan, Giri maupun Gresik mengalami perubahan yang tidak sedikit. Akibat daripada serangan Amangkurat II yang dibantu oleh kompeni akhirnya pada tanggal 27 April 1680 jatuhlah kekuasaan Pengeran Giri ke tangan Amangkurat II.

Semenjak itu Giri cahayanya mulai pudar, hanya tinggal kenang-kenangan dalam sejarah kebangunan Islam di tanah Jawa.

SUMBER LAINNYA
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.

Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung.

Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.

Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.

Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.

Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.

Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs-- ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.

Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.

Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.

Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.

Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.

Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.

Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.

Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.

Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.

Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.

Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.

Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.

Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.

Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.

Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.

Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.

Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq

Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung, adalah panglima perang Kesultanan Demak, dan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Kudus pernah menjabat juga sebagai panglima perang Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sultan Prawata, dia ikut bertempur melawan Arya Penangsang.

Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Kudus.

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali - yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

SUMBER LAINNYA
MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.

Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.

Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.

Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.

Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.

Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.

Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.

Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.

Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.

Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.

Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.

Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.

Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.

Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.

Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.

Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.

Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.

Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.

Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.

Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.

Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.

Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
• Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.

Sunan Kali Jaga / Raden Said

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta/Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.

Ketika wafat, beliau dimakamkan di desa Kadilangu, sebelah timur laut kota Bintoro, Demak.

Budaya
Ada beberapa kreasi seni budaya yang diperkirakan digagas oleh Sunan Kalijaga, antara lain Sekatenan, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada dan lakon wayang Petruk Jadi Raja. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan 1478 Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap:

Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam dipahami, sudah mengikuti sambil mempengaruhi dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa, Kartasura, memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu selatan Demak.

Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban, keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syeikh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf", bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan
menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.

Raden Mas Syahid atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga, adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada pula yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera, masing-masing : R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.

Diantara para Wali Sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi, daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). Jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana.

Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. Karena caranya beliau menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran jaman, Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa hidupnya, Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat masih memegang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.

Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan Agama Islam di sini.

Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum serta dikenang oleh seluruh lapisan masyarakat dari yang atas sampai yang bawah. Hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar jiwanya, dan besar pula jasanya. Sebagai pujangga, telah banyak mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. Disamping itu pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang ini.

Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita yang dibuatnya yang isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an, kesusilaan dalam hidup sepanjang tuntunan dan ajaran Islam, hanya diselipkan ke dalam cerita kewayangan. Oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.

Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama syiwa budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali kiranya apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gemalan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.

Maka setelah diadakan permusyawaratan para wali, dapat diketemukan suatu cara yang lebih supel, dengan maksud untuk meng-Islam-kan orang-orang yang belum masuk Islam. Cara itu diketemukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan jauh, berfikiran tajam, serta berasal dari suku jawa asli. Disamping itu beliau juga ahli seni dan faham pula akan gamelan serta gending-gending (lagu-lagunya).

Maka dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan untuk membuatkan serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama Kyai Sekati. Hal itu adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.

Menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudah konperensi besar para wali, diserambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam fikiran masyarakat jawa. Maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam bungan-bungaan yang indah.

Gapura masjid pun dihiasinya pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun kemudian dipukulinya betalu-talu dengan tiada henti-hentinya.

Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang sangat menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertarik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan itu. Dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. Upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.

Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh Sunan Kalijaga (periode demak) diberi motif "burung" di dalam beraneka macam. Sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. Di dalam bahasa kawi, burung itu disebut "kukila" dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : "quu" dan "qilla" atau "quuqiila", yang artinya "peliharalah ucapan (mulut)-mu.

Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa Sunan Kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju "takwo", nama tersebut berasal berasal dari kata bahasa arab "taqwa" yang artinya ta'at serta berbakti kepada Allah SWT.

Nama yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat, dikatakan berasal dari rangkaian Bahasa Arab ' Qadli Zaka, Qadli - artinya pelaksana, penghulu : sedangkan Zaka - artinya membersihkan. Jadi Qodlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.

Konon kabarnya Sunan Kalijaga itu usianya termasuk lanjut pula, sehingga dalam masa hidupnya, beliau antara lain mengalami tiga kali masa pemerintahan, pertama jaman Syeikh Siti Jenar sesungguhnya tak ada disini, yang ada hanyalah Tuhan yang Sejati.
ujarnya pula :

"Awit seh lemang bang iku, wajahing pangeran jati. nadyan sira ngaturana, ing pangeran kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang ora, mansa kalakon yekti"

Artinya :

Oleh karena Syekh Siti Jenar itu sesungguhnya adalah wajah wujudnya Tuhan sejati, meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang sejati, manakala siti jenar tidak, maka tidaklah hal itu akan terlaksana. Pada waktu Maulana Maghribi memberi wejangan bahwa yang disebut Tuhan Allah Sejati itu Wajibul Wujud (kang aran Allah jatine, wajibul wujud kang ana), maka Syekh Siti Jenar pun menjawablah, katanya :

"Aja ana kakehan semu, iya ingsun iki Allah, nyata ingsun kang sejati, jejuluk Prabu Satmata, tan ana liyan jatine, ingkang aran bangsa Allah"

Artinya : jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiadalah yang lain dengan nama Ketuhanan. Oleh karena segala ucapan-ucapan dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar ini dipandang sangat membahayakan kepada rakyat, maka akhirnya beliau pun dihukum mati oleh para wali. Jikalau kita ikuti segala ucapan-ucapan Siti Jenar tersebut di atas, maka hal itu mengingatkan kita kepada ajaran-ajaran dan ucapan-ucapan salah seorang misticus yang masyhur, yaitu Al Hallaj (858-992). Sebagaimana diketahui, Al Hallaj pernah berkata:
"Annal haqq" artinya : "sayalah kebenaran yang sejati itu" kemudian katanya pula :
"wa'ma fi jubbati illa-lah" artinya "dan tidak ada yang dalam jubah, melainkan Allah".

Disamping itu al hallaj juga pernah mengatakan :
"Telah bercampur rahmu dalam rohku, laksana bercampurnya chamar dengan air jernih bila menyentuh akanmu sesuatu, tersentuhlah aku, sebab itu engkau adalah aku"

Dalam segala hal demikianlah pandangan hidupnya. ucapan dan ajarannya inilah yang mengakibatkan dia dihukum mati di atas tiang gantungan, karena dianggap berbahaya dan menyesatkan oleh pemerintah Bagdad. kedua ahli mistik, baik Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar fahamnya condong kepada ajaran pantheisme, kesatuan antara makhluk dengan khalik Maha Penciptanya. Dan keduanya pun mengalami pula nasib yang sama, karena mereka harus menebus keyakinan hidupnya dengan hukuman mati.

Kemudian kita dapati pula ucapan Siti Jenar yang lain, yang tampak isinya lebih mengutamakan hakekat daripada syari'at, katanya :

"Sahadat salat puwasa kawuri, apa dene jakat lawan pitrah, ujar iku dora kabehm nora kena ginugu, Islam tetep durjaning budi, ngapusi kyehning titah, sinung swarga besuke, wong bodo kanur ulama, tur nyatane pada bae ora uning, beda syekh siti jenar."

Selanjutnya berkatalah Syekh Siti Jenar :
"Tan mituhu salat lawan dikir, jengkang-jengking neng masjid ting krembyah, nora nana ganjarane, yen wus ngapal batukmu, sejatine tanpa pinanggih, neng dunya bae pada susah amemikul, lara sangsaya tan beda, marma siti jenar mung madep wajidi, gusti dat roning kamal".

Demikianlah antara lain pandangan hidup serta ajaran-ajaran dari Syekh Siti Jenar. Dalam riwayat dikatakan bahwa murid Syekh Siti Jenar adalah : Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran Panggung, Ki Lontang.

Menengok konflik Masa Lalu

Biasanya, konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama masa kini, tapi sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta'liq Muhammad Hamidi). Di era Wali Songo -kelompok ulama yang "diklaim" oleh NU sebagai nenek-moyangnya dalam perihal berdakwah
dan ajarannya, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang "fenomenal" antara Wali Songo (yang mementingkan syari'at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat). Konflik itu berakhir dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya. Sejarah juga mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam berdakwah itu, ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu, Demak) dan Sunan Kudus (Kudus). Kutub-kutub politik itu memiliki pertimbangan dan alasan sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit untuk dicarikan titik temunya; dalam sidang para wali sekalipun.

Terutama perseteruan dari dua nama yang terakhir, itu sangat menarik. Karena pertikaian kedua wali tersebut dengan begitu gamblangnya sempat tercatat dalam literatur sejarah klasik Jawa, seperti: "Babad Demak", "Babad Tanah Djawi", "Serat Kandha", dan "Babad Meinsma".

Lagi-lagi, konflik itu diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran "Islam mutihan" (lebih mengutamakan tauhid) mendukung Sunan Prawata dengan pertimbangan ke-'alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata (anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan) mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu
memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan nusantara yang akomodatif terhadap budaya.

Sejarah juga mencatat, konflik para wali itu "lebih seru" bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka sangat syarat dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada pembunuhan terhadap lawan politik.

Penyebabnya tidak semata karena persoalan politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.

Bahkan, De Graaf, seorang sejarawan Jawa dari Belanda, dengan begitu beraninya menilai konflik di antara para wali itu bukan hanya masalah hubungan antara guru dan murid belaka. Bukan pula harus selalu dilihat dari segi spiritualnya, tapi sekolah agama dari para wali itu bisa juga dilihat sebagai sebuah konsentrasi politik. Para wali yang terlibat konflik itu sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual saja, tetapi juga memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang (terlalu) banyak ikut campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti misalnya, seseorang yang menjadi raja, berhak menyandang gelar "Sultan" bila telah mendapatkan "restu" dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara seperti ini yang kemudian menjadi benih-benih pertikaian di antara wali sendiri.

Begitupun ketika pusat pemerintahan pindah dari Pajang ke Mataram. Sunan Kudus "berbelok arah" mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata [kubu yang sebelumnya dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus]) untuk menguasai Pajang, mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya). Sementara Sunan Kalijaga mendukung keturunan Pamanahan (Ki Gede Mataram) untuk mendirikan kerajaan baru yang bernama Mataram.

Tidak hanya berhenti di situ. Konflik politik para wali itu terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Hingga anak cucu generasi mereka selanjutnya. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika Sunan Amangkurat I (Raja Mataram ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo) membantai secara keji 6000 ulama ahlussunnah wal jama'ah di alun-alun Mataram, dengan alasan "mengganggu keamanan negara". Ini adalah sebagai bukti adanya imbas yang berkepanjangan dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya -di samping juga karena faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan aliran keagamaan (ideologi) seperti itu, di kemudian hari terus berlanjut, seolah-olah telah menjadi sebuah "warisan" masa kini.

Penutup
Kedewasaan dalam Berkonflik Jadi, konflik politik di antara ulama/kiai bukanlah merupakan hal yang baru, yang luar biasa, karena kita bisa melihat akar konflik seperti itu sudah terjadi sejak dahulu kala --tentu dengan konteks yang berbeda.

Logikanya, di jaman sahabat Nabi SAW dan para wali saja bisa terjadi, apalagi di era kiai sekarang ini. Itu adalah hal yang lumrah, asal dilakukan secara dewasa. Yang tidak wajar, ketika konflik -yang biasanya bersifat pribadi ulama- tersebut bersifat kekanak-kanakan, yang sampai harus mengorbankan kepentingan umat dan kemaslahatan organisasi (NU). Yang tidak dibenarkan, ketika konflik pribadi itu kemudian diseret menjadi konflik yang melibatkan umat, sekaligus organisasi dijadikan sebagai barang taruhannya. Dan bila sudah demikian, maka selayaknya kita patut meragukan otoritas mereka sebagai ulama, yang seyogyanya menjadi suri-tauladan bagi masyarakat. Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.

SUMBER LAINNYA

1. ASAL USUL.
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.

Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban.Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.

Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Suatu hari dia menghadap ayahandanya.

“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara karena panen banyak yang gagal,” kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih harus dibebani dengan pajak yang mencekik leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas penderitaan mereka ?”

Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya. Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “Said anakku ….. saat ini pemerintah pusat Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.”

“Tapi …… mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya berubah menjadi merah padam pertanda hatinya sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang selama hiduptak pernah dilakukannya.

Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah.

Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun terjadinya perang saudara.

Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui selukbeluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam.

Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar rumah.

Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya.

Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.

Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barangbarang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang.

Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.

Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu.Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.

Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.

Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan, tiga orang prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya.

“Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !” hardik Adipati Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana Kadipaten ini ?

Apakah aku pernah melarangnya untuk makan sekenyang-kenyangnya di Istana ini ?
Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ? Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?”

Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa barang-barang yang tersimpan di gudang Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.

Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.

Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya ?

Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.

Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.

Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isyá mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.

Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.

Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu.Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan.Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.

Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.

Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.

“Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi ! jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari !”

Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban.

Orang tua mana yang tak terpukul batinnya mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan menghancurkan nama dan masa depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban.

Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak pernah ditemukan oleh mereka.

Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said sendiri.


2. MASA PENGGEMBLENGAN DIRI.

Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman ?

Karena hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.

“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati.

Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat !”

Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”

“Tapi ………. saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi ………. saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”

Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.

Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”

“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !” Jawab lelaki itu.

Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang …… caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Orang tua ………. apa maksudmu ?”
“Boleh aku bertanya anak muda ?”
“Silahkan ………. “
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar ?”

“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja.”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing.”
Raden Said tercekat.

Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.”Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam tubuh hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.

“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi para penduduk miskin bantuan makan dan uang. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya !”

Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.
“Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu !”

Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.

Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir

Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya.Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.

Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti arenaren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.

“Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi. Menilik caranya berpakaian tentulah dari golongan para ulama atau mungkin salah seorang dari Waliullah, aku harus menyusulnya, aku akan berguru kepadanya,” demikian pikir Raden Said.

Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat, akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Seperti santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.

Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar.Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.

“Tunggu ………. “ ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
“Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid …… “ Pintanya.
“Menjadi muridku ?” Tanya orang itu sembari menoleh. “Mau belajar apa ?”
“Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid ……“
“Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?”
“Saya bersedia …… “

Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya.

Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu. Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan didaratan saja. Kakinya tidak basah terkena air.

Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila, dia berdo’a kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.

Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban.Mengapa ke Tuban ? Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu tingkat para Waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai.

Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.

Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.

Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa ambles ke dalam sungai.
Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.

Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar dan rerumputan yang menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat di pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan kepada ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya dengan ajaran-ajaran Islam tingkat tinggi sehingga Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan pengetahuan agamanya benar-benar telah cukup untuk dipergunakan menyebarkan agama Islam.

Demikian sehingga tafsiran dari kisah legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.


3. KERINDUAN SEORANG IBU.

Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.

Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ketempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.

Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Di antaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.

Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani kehidupan yang dipilihnya sendiri. Walau sedikit kecewa Adipati Tuban agak terhibur, sebab suami Dewi Rasawulan juga bukan orang sembarangan. Empu Supa adalah seorang Tumenggung Majapahit yang terkenal. Cucu yang lahir dari keturunan Empu. Akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.

Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa tengah hingga ke Jawa Barat. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggal nya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.


4. JASA SUNAN KALIJAGA.

Jasa Sunan Kalijaga sangat sukar dihitung karena banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli seni, budayawan, ahli filsafat, sebagai Dalang Wayang Kulit dan sebagainya. Untul lebih detailnya para pembaca dipersilahkan membaca literatur berjudul Sunan Kalijaga yang ditulis oleh saudara Umar Hayim, diterbitkan oleh Menara Kudus.

Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap jasa dan karya Sunan Kalijaga.
Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari karya dan jasa Sunan Kalijaga.

A. SEBAGAI MUBALIGH.

Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Hal itu disebabkan Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam berdakwah, sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam sambil mengembara. Sementara Wali lainnya mendirikan pesantren atau pedepokan untuk mengajar murid-muridnya.

Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya. Beliau dekati rakyat yang masih awam itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerima kedatangannya dengan senang hati.

Pakaian yang dikenakan sehari-hari adalah pakaian adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam pandangan Kaum Putihan dianggap bid’ah tidal langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima agama Islam, mau mendekat pada para Wali. Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat yang bertentangan dengan agama Islam.

Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini ternyata membawa keberhasilan yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal agama Islam.


B. SUNAN KALIJAGA SEBAGAI AHLI BUDAYA.

Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota dan lain-lain.

a. Seni Pakaian :

Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa. Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.

b. Seni Suara :

Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula Semarangan.

c. Seni Ukir :

Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional.

Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir bermotifkan manusia dan binatang.

d. Bedug atau Jidor di Mesjid :

Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk membuat Bedug di masjid Semarang guna memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat jama’ah.

e. Gerebeg Maulud :

Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi.

f. Gong Sekaten :

Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi bermakna :di sana di situ, mumpung masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.

g. Pencipta Wayang Kulit :

Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar pada sebuah kertas dengan gambar ujud manusia.Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian rupa, dan digambar atau di ukir pada sebuah kulit kambing, satu lukisan adalah satu wayang, sedang di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu adegan. Gambar yang ditampilkan oleh Sunan Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang kita lihat sekarang.Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.

h. Sebagai Dalang :

Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid Demak dengan shalat Jum’ah, beliaulah yang mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat.

Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya sendiri, seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.

Dalang dari kata “dalla” artinya menunjukkan jalan yang benar.

i. Ahli Tata Kota :

Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata Kota yang dimiliki biasanya selalu sama.Sebab Jawa dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam. Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan Kalijaga dalam membangun Tata Kota.

Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiridari :

1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid

Letaknya juga sangat teratur, bukan sembarangan.Alun-alun ;berasal dari kata “Allaun” artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua kali “Allaun-allaun” yang maksudnya menunjukkan tempat bersama ratanya segenap rakyat dan penguasa di pusatkota.

Waringin : dari kata “Waraa’in artinya orang yang sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul di alun-alun itu sangat hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum atau undang-undang, baik undang-undang negara atau undang-undang agama yang dilambangkan dengan dua pohon beringin yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi. Alun-alun biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus berpedoman lengkap yaitu syariat, hadiqat dan tariqat dan ma’rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan syariat agama Islam.

Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah.
Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan dengan alun-alun dan pohon beringin. Letak istana atau kabupaten itu biasanya menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap ke laut artinya penguasa itu hendaknya berhati pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan dengan istana atau kabupaten artinya penguasa harus selalu mengawasi jalannya undang-undang dan rakyatnya.

Sunan Muria / Raden Umar Said

Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung.

Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.

Ia adalah putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syeikh Maulana Ishak-- dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto.
Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapa pun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

SUMBER LAINNYA
1. ASAL USUL.
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria. Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichim Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2. SAKTI MANDRAGUNA.

Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuatfisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak diatas gunung . Menurut pengalaman penulis jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai kemakam Sunan Muria (tidak kurang dari750 M).

Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik-turun, turun-naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat ,atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria.Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.

Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana. Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.

Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-murid diundang semua.Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus ,Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri .Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.

Setelah tamu berkumpul DewiRoroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan.

Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar mekarnya.

Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempersona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.

Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar. Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu.

Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya. Roroyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak. Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masingmasing.

Tamu dari jauh terpaksa menginap dirumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya. Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disiramnya sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri. Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya di culik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya itu bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.

“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak,” Kata Sunan Muria.

Tetapi, ditengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.

“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa ?” tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua.

Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.

“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut di Ajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu.” Demikian kata Kapa.

“Aku masih sanggup merebutnya sendiri,” Ujar Sunan Muria.
“Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali.” kata Kapa ngotot.

Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang. Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang.

Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.

“Hai Pathak Warak berhenti kau !”Bentak Sunan Muria.

Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir ! Jangan menghalangi jalanku !” Hardik Pathak Warak.
“Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !”
“Goblok! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri !Kini aku hendak mengejar mereka!” Umpat Pathak Warak.

“Untuk apa kau mengejar mereka?”
“Merebutnya kembali!” jawab Pathak Warak dengan sengit .
“Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku !”Ujar Sunan Muria sambil pasang kuda -kuda.

Tampabasa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda .Dia merangsak ke Arah Sunan Muria dengan jurus –jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan ,Pathak Warak telah jatuh atau roboh ditanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan. Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana, kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.

Upacara pernikahanpun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan.

Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.

Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu.

Siang malam mereka tak dapat tidur.Wajah wanita itu senantiasa terbayang.Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apalagi.

Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa dulu mereka buru –buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan mereka. (kemaluan).

Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.

Kini Kapa dan Gentiiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dasyart .Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya dipuncak Gunung Muria.

Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari.

Tak seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah ………. yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau Seprapat.

Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang. Datuk diPulau Seprapat .Ini biasa dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.

Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung.

Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akirnya tertarik dan masuk Islam secara suka rela.

Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.
“Memalukan ! benar-benar nista perbuatanmu itu ! Cepat kembalikan istri kakanda seperguruanmu sendiri itu !” hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.

“Bapa guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu ? Mengapa tidak kau bela ?” protes Kapa.
“Apa ? Membela perbuatan durjana ?” Bentak Wiku Lodhang Datuk.
“Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi perkerti walau pelakunya Itu murid kusendiri!”

Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama.Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.

Ternyata, serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu akhirnya merengut nyawa nya sendiri.

“Maafkan saya Tuan Wiku ….. “ ujar Sunan Muria agak menyesal.
“Tidak mengapa, sudah sepantasnya dia menerima hukuman ini. Menyesal aku telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” Guman sang Wiku.

Dengan langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.

Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayattullah

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Mawlana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramawt, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husayn.

Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.

Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).

Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu. Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji buat seluruh umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan membangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo.

Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah.

Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Pulau Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah), untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di Pulau Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam.

Begitu pula sebagian Panglima Perangnya. Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagai Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan yang bijak.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Banyak kisah yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Di antaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

SUMBER LAINNYA
1. ASAL USUL.
Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi yangsama .Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama Islam.

Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu.Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.

Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.

Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.

Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.

Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal.

Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.

Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.

Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah.
Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.

Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati.

Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.

Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.


2. PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI.

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.

Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.

Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.

Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.

Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.

Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten.

Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai dua orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.

Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.

Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan.

Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman.

Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.

Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.

Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.

Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakan pemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid.

Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.

Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.

Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.

Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.

Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat.

Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama.Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.

Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.

Sunan Gunung Jati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati.Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati.

Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga. Demikianlah riwayat perjuangan Sunan GunungjatI

Sunan Bonang / Syekh Maulana Makhdum Ibrahim

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Jepara.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M di Pulau Bawean. Karya Sastra Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr.

Sunan Bonang juga menggubah tembang Tombo Ati yang kini masih sering dinyanyikan orang. Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya. Referensi B.J.O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang, Utrecht: Den Boer

G.W.J. Drewes, 1969, The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff.

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.

Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.

Ia kemudian menetap di Bonang --desa kecil di Lasem, Jawa Tengah-- sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.

Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.

Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.

Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'itsbat (peneguhan).

Raden Maulana Makdum Ibrahim, atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bonang, adalah seorang putera dari Sunan Ampel.

Berbicara tentang Sunan Bonang yang namanya didepannya tercantum kata-kata Maulana Makdum, mengingatkan kita kembali kepada cerita di dalam sejarah Melayu. Konon kabarnya dalam sejarah Melayu pun dahulu ada pula tersebut tentang cendekiawan islam yang memakai gelar Makdum, yaitu gelar yang lazim dipakai di India. Kata atau gelar Makdum ini merupakan sinonim kata Maula atau Malauy gelar kepada orang besar agama berasal dari kata Khodama Yakhdamu dan infinitifnya (masdarnya) khidmat. dan maf'ulnya dikatakan makhdum artinya orang yang harus dikhidmati atau dihormati karena kedudukannya dalam agama atau pemerintahan Islam di waktu itu.

Salah seorang besar yang mengepalai suatu departemen ketika terjadi pembentukan adat yang berdasarkan Islam, tatkala agama Islam memasuki lingkungan Minangkabau, berpangkat Makdum pula. Rupanya Makhdum atau Mubaligh Islam yang berpangkat atau bergelar Makhdum itu datang ke Malaka dalam abad ke XV, ketika Malaka mencapai puncak kejayaannya. Kembali mengenai diri Sunan Bonang disamping beliau adalah putera Sunan Ampel juga menjadi muridnya pula. Adapun daerah operasinya semasa hidupnya adalah terutama Jawa Timur.

Disanalah beliau mulai berjuang menyebarkan agama Islam. Beliau adalah putera dari Sunan Ampel dalam perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, seorang putera dari Arya Teja, salah seorang Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut dugaan Sunan Bonang dilahirkan dalam tahun 1465 M, serta wafat pada tahun 1525 M.

Maulana Makhdum Ibrahim, semasa hidupnya dengan gigih giat sekali menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Timur, terutama di daerah Tuban dan sekitarnya. Sebagaimana halnya ayahnya, maka Sunan Bonang pun mendirikan pondok pesantran di daerah Tuban untuk mendidik serta menggembleng kader-kader Islam yang akan ikut menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. Konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas/sial menurut kepercayaan Hindu, dan nama-nama dewa Hindu diganti dengan nama-nama malaikat serta nabi-nabi. Hal mana dimaksudkan untuk lebih mendekati hari rakyat guna diajak masuk agama Islam.

Di masa hidupnya, beliau juga termasuk penyokong dari kerajaan Islam Demak. Serta ikut pula membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro Demak.

Adapun mengenai filsafat Ketuhanannya, adalah :
"Adapun pendirian saya adalah, bahwa imam tauhid dan makrifat itu terdiri dari pengetahuan yang sempurna, sekiranya orang hanya mengenal makrifat saja, maka belumlah cukup, sebab ia masih insaf akan itu. Maksud saya adalah bahwa kesempurnaan barulah akan tercapai hanya dengan terus menerus mengabdi kepada Tuhan.

Seseorang itu tiada mempunyai gerakan sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan sendiri. Dan seseorang itu adalah seumpama buta, tuli dan bisu. Segala gerakannya itu datang dari Allah.
"
Ada kitab yang disebut Suluk Sunan Bonang yang berbahasa prosa Jawa Tengah-an, tetapi isinya mengenai hal-hal agama islam. Di mana kalimatnya agak terpengaruh oleh bahasa Arab. Besar kemungkinan kitab ini adalah berisi kumpulan atau himpunan catatan dari pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan oleh Sunan Bonang semasa hidupnya kepada murid-muridnya. Di dalam dongeng-dongeng diceritakan, bahwa pada suatu ketika pernah ada seorang pendita hindu yang datang untuk mengajak berdebat dengan sunan bonang, bahkan kemudian pendeta hindu itupun akhirnya bertaubat serta menyatakan dirinya masuk ke dalam agama Islam.

Pada masa hidupnya dikatakan bahwa Sunan Bonang itu pernah belajar ke Pasai. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan bangsawan dari keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi para murid-muridnya.

Sunan Bonang perjuangannya diarahkan kepada menanamkan pengaruh ke dalam. Siasat dari Sunan Bonang adalah memberikan didikan Islam kepada Raden Patah putera dari Brawijaya V, dari kerajaan Majapahit, dan menyediakan Demak sebagai tempat untuk mendirikan negara Islam. Adalah tampak bersifat politis dan Sunan Bonang rupanya berhasil cita-citanya mendirikan kerajaan Islam di Demak. Hanya sayang sekali harapan beliau agar supaya Demak dapat menjadi pusat agama Islam untuk selama-selamanya kiranya tidak berhasil.

SUMBER LAINNYA
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa ,tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.

Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin . Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar , maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin . Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang ,yaitu Negeri Pasai . Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai .Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir , Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri .

Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah diTuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.

Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya . Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat . Lebih –lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya . Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya . Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang – tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.

Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Diantara tembang yang terkenal ialah :

“Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat harus sering berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.

Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk .Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda . (Nederland )

Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak.

Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan'' yang dipimpinnya.

Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah.

Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih.

Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.

Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap.

Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.

Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya.

“Ampun ………. hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya.
“Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.”
“Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi ………. “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
“Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.
“Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.”
“Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”
“Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.
“Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”

Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.

“Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang.”kata sang Brahmana.
“Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?” tanya lelaki itu .
“Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan ,kata sang Brahmana .”Tapi sayang kitab –kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar laut .”

Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap dipasir ,mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.

“Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar laut?”Tanya lelaki itu.

Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.

“Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?”tanya sang Brahmana
“Tuan berada dipantai Tuban !”jawab lelaki itu .Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut dihadapan lelaki itu .Mereka sudah dapat mendiga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.

Siapalagi orang sakti berilmu tinggi yang berada dikota Tuban selain Sunan Bonang .Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.

Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan.

Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.

Adalagi legenda aneh tentang Sunan Bonang .
Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk dimakamkan disamping Sunan Ampel yaitu ayahandanya .Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu disebelah barat Masjid Jami ’Tuban.

Sunan Drajat / Raden Qosim

Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.

Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog, pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran, Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya : langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.

Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

Syarifuddin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Drajat adalah seorang putera dari Sunan Ampel, sebagaimana ayahnya, maka puteranya inipun kemudian menjadi seorang penganjur pula dalam agama Islam. Beliaupun ikut pula mendirikan kerajaan Islam di Demak dan menjadi penyokongnya yang setia. Daerah operasinya diantaranya adalah di Jawa Timur, Sunan Drajat adalah seorang sosiawan Islam.

Seorang waliullah yang berjiwa sosial, dalam menjalankan agama, selalu beliau juga tidak segan-segan pula memberikan pertolongan kepada kesengsaraan umum, seperti membela anak-anak yatim piatu, orang-orang sakit. Para fakir miskin, dan lain-lain. Konon kabarnya beliau, adalah pencipta gending, pangkur, apabila dikatakan bahwa syarifoeddin atau Sunan Drajat itu mempunyai jiwa sosial maka hal itu adalah benar. Karena pada hakekatnya setiap pribadi muslim itu adalah juga seorang sosialis. Bukanlah muslim namanya, jikalau dia tidak berjiwa sosial. Sebab memang demikianlah ajaran di dalam agama Islam.

Jadi bilamana Sunan Drajat memberi contoh serta menganjurkan kepada rakyat, agar memiliki jiwa sosial serta menganjurkan agar supaya rakyat suka menolong para fakir dan miskin yang sedang mengalami penderitaan dan kesempitan, maka hal itu adalah sesuai dengan tuntunan agama.

Tidakkah Islam mengajarkan kepada kita. Bahwa apabila disekitar tetangga kita terdapat orang yang kelaparan, maka berdosalah kita semua. Jadi agama melarang kita sendiri hidup dalam lautan kenikmatan dan kemewahan, sedangkan lainnya hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Karena agama islam memang tidak membenarkan adanya individualisme dan egoisme, melainkan yang senantiasa ditekankan oleh islam di dalam sepanjang ajaran-ajarannya ialah rasa kolektivisme, hidup didalam kerukunan hidup dalam suasana gotong royong, tolong menolong, bahu membahu, hidup dalam persaudaraan. Jauh sebelum itu di barat timbul semboyan egalite dan fraternite, maka islam telah mengajarkan kepada setiap pemeluknya untuk menanamkan rasa persaudaraan dan kerukunan, tidakkah Islam mengatakan, bahwa sebaik-baiknya manusia di dunia ini, ialah manusia yang bermanfaat bagi sesamanya.

Demikian intisari dari ajaran yang terkandung di dalam Islam. Dan itulah yang dipraktekkan oleh sunan drajat semasa hidupnya.

SUMBER LAINNYA
Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.

Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.

Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga yang menyebut ikan cakalang.

Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.

Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.

Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat --termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.

Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.

''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.

Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening --yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.

Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.

Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.

Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

=================

Wali 7 Pulau Dewata - Bali


Jika di Jawa di ketahui ada Wali Songo (9), di Bali ada Wali Pitu (7) alias Sab'atul Awliya'. Sebagaimana makam para wali di Jawa, makam tujuh wali di Bali juga diziarahi kaum muslimin.

Bali, yang termasyhur sebagai Pulau Dewata dan tujuan wisata nomor wahid di Indonesia, ternyata menyimpan khazanah dakwah Islam. Di beberapa tempat terdapat makam para wali, seperti di Denpasar, Karangasem, Tanah Lot. Jumlahnya tujuh, karena itu disebut juga Wali Pitu. Seperti halnya makam Wali Songo di Jawa, makam ketujuh wali di Bali juga sering diziarahi kaum muslimin dari berbagai penjuru tanah air.

Seperti halnya di kompleks makam para wali di Jawa, di sekitar makam Wali Pitu di Bali juga tumbuh pasar rakyat tradisional seperti warung-warung makan, pedagang bakso, toko buku dan kitab. Tentu saja juga ada yang berjualan berbagai peralatan ibadah seperti baju koko, sarung, kopiah, tasbih, minyak wangi.

1 ==> Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkurat

Wali yang pertama bernama Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkurat, yang punya nama Bali, Ida Cokordo. Ia putra Raja Mengwi I yang menikah dengan seorang putri muslimah dari Kerajaan Balambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak kecil ia dibesarkan oleh ibundanya di Balambangan, setelah dewasa menemui ayahandanya, Raja Mengwi ke-I.

Raden Amangkurat terkenal sakti mandraguna, namun tetap rendah hati dan pemaaf, terutama kepada musuh yang telah menyerah. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya di Pantai Seseh, Desa Munggu Mengwi, Kabupaten Badung (berdampingan dengan Candi Pura Agung di Tanah Lot), juga dihormati oleh umat Hindu. Bahkan juru kuncinya adalah seorang pendeta Hindu. Karena terletak di pantai Seseh, makam ini juga terkenal dengan sebutan Makam Keramat Pantai Seseh.

2 ==> Dewi Khadijah

Makam keramat kedua ialah makam Keramat Pamecutan Dewi Khadijah, yang juga disebut makam Keramat Pamecutan, terletak di Jalan Batu Karu, Pamecutan, Kampung Monang-Maning, Denpasar. Dewi Khadijah, yang nama aslinya Ratu Ayu Anak Agung Rai, adalah adik perempuan Raja Cokorda III dari Kerajaan Pamecutan yang bergelar Batara Sakti - yang bertahta pada abad ke-17 M. Ia adalah isteri Pangeran Sosrodiningrat, seorang senopati Kerajaan Mataram.

Dewi Khadijah wafat terbunuh oleh seorang punggawa Kerajaan Pamecutan karena salah paham. Suatu malam, Dewi Khadijah shalat tahajud. Karena mengenakan mukena warna putih, dan bergerak-gerak (rukuk, sujud, duduk, berdiri), Dewi Khadijah dikira leak atau hantu perempuan. Dan ketika ia mengucapkan takbir Allahu akbar, yang terdengar oleh punggawa itu ialah makeber, makeber (terbang, bahasa Bali).

Maka sang punggawa pun melaporkannya kepada Raja Cokorda III yang kontan memerintahkannya untuk menghabisinya. Tanpa pikir panjang, si punggawa pun menghunjamkan keris ke punggung Dewi Khadijah yang tengah sujud. Ajaib, darah segar yang menyembur dari tubuhnya bersinar terang kebiru-biruan menembus dinding dan atap hingga menerangi seluruh Istana Pamecutan.

Rebo Wekasan
Konon, seluruh Denpasar menjadi terang benderang, sementara suara takbir terdengar di segala penjuru. Tentu saja Raja Cokorda III dan segenap punggawa keraton terkejut. Sebab, yang dibunuh ternyata bukan leak melainkan adik raja.

3 ==> Syaikh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi

Wali ketiga ialah Syaikh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi, yang makamnya berada di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Nasabnya diyakini bersambung sampai Rasulullah SAW. Untuk mencapai lokasi makam, para peziarah harus mendaki bukit yang cukup tinggi. Mereka harus sangat hati-hati, karena anak tangganya masih asli dari tanah, tanpa pagar atau pegangan tangan.

4 ==> Habib Ali Zainal Abidin Al-Idrus

Yang keempat ialah Habib Ali Zainal Abidin Al-Idrus, yang juga dimakamkan di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Wafat pada 9 Ramadhan 1493 H (19 Juni 1982), ia dikenal sebagai ulama besar yang arif bijaksana. Semasa hidupnya banyak santri yang mengaji kepadanya. Mereka tidak hanya berasal dari beberapa daerah di Bali, tapi juga dari Lombok dan sekitarnya.

5 ==> Habib Syaikh Mawlaya Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi

Wali kelima ialah Habib Syaikh Mawlaya Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi, yang dimakamkan tidak jauh dari makam Habib Ali bin Zainal Al-Idrus di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Di atas makam tersusun batu bata merah tanpa semen yang tak terawat dan tampak sangat tua. Makam itu selamat dari amukan Gunung Agung yang meletus dengan dahsyat pada 1963.

6 ==> Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid

Wali yang keenam ialah Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid, yang makamnya terdapat di Desa Kusumba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Makam keramat ini terletak tak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan pulau Nusa Penida. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dikeramatkan oleh umat Hindu. Di depan makam dibangun patung seorang tokoh bersorban dan berjubah menunggang kuda.

Semasa hidupnya Habib Ali mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dhalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang raja menghadiahkan seekor kuda kepadanya sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju istana Klungkung. Suatu hari, pulang mengajar di istana, ia diserang oleh kawanan perampok. Ia wafat dengan puluhan luka di tubuhnya.

Jenazahnya dimakamkan di ujung barat pekuburan desa Kusamba. Malam hari selepas penguburan, terjadi keajaiban. Dari atas makam menyemburlah kobaran api, membubung ke angkasa, memburu kawanan perampok yang membunuh sang Habib. Akhirnya semua kawanan perampok itu tewas terbakar. Kaum muslimin setempat biasa menggelar haul Habib Ali setiap Ahad pertama bulan Sya'ban.

7 ==> Syaih Abdul Qadir Muhammad

Wali yang terakhir ialah Syaih Abdul Qadir Muhammad, yang nama aslinya Thee Kwan Pau-lie, di Desa Temukus, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Penduduk menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit. Semasa remaja, ia adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rebu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing mengelar upacara menurut keyakinan masing-masing.
Baca selengkapnya WISATA ILMU MAGETAN